Oleh: Paulina. N. F. Harum
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Siang itu langit begitu cerah, terik matahari menyengat tajam, membuat beberapa orang enggan keluar rumah. Namun, tidak bagi Febri. Dengan langkah berat, ia mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Wajahnya nampak murung, sorot matanya kosong tak bersemangat seperti biasanya. Telepon dari desa pagi tadi membuatnya sangat terguncang. Ia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padanya.
“Nak, Bapak dan Ibu tidak bisa membiayai kuliahmu lagi. Maafkan kami, Nak. Ini semua agar adikmu bisa berkuliah”, suara ayahnya di ujung terdengar berat, seolah menahan tangis.
Febri terdiam, dadanya sesak. Seakan ada batu besar yang menindih dadanya. Ia tak
menyangka mimpi yang ia bangun sejak SMA harus berhenti di tengah jalan. Cita-citanya menjadi seorang psikolog, membantu orang-orang yang terluka secara batin, kini seakan musnah dalam satu kalimat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah almamater kampus nya yang tergantung di dinding. Tak ada yang ia rasakan, seakan semuanya mati rasa, ia ingin menangis, tapi tak mampu.
“Tidak apa-apa, Pak, Bu. Kalau ini jalan terbaik, Febri ikhlas”, katanya lirih, meski hatinya belum benar-benar melepaskan.
Beberapa hari kemudian Febri memutuskan untuk pulang ke kampung. Ia mengajukan cuti kuliah meski hatinya tahu ini adalah hal yang berat baginya. Di kampung, rumah sederhana yang nyaman menyambutnya dengan keheningan. Bapak dan Ibunya nampak terkejut melihat anaknya pulang tanpa kabar. Mereka segera memeluknya erat.
“Maafkan Bapak dan Ibu, Nak”.
“Tak apa-apa, Bu. Ini keputusan kita bersama kan?”, jawab Febri dengan senyum tipis.
Hari-hari pun berlalu. Febri membantu kedua orang tua nya bekerja di ladang serta menjual gorengan. Semua ia jalani tanpa keluhan. Uang dari hasil menjual gorengan ia sisihkan demi keperluan sekolah adiknya, Justin, yang baru lulus SMA.
Malam-malam ia menghabiskan waktunya dengan membaca kembali catatan kuliahnya. Ia masih mencintai psikologi, tapi kini ia lebih mencintai keluarganya.
Suatu hari, Justin pulang dari sekolah dengan wajah cerah.
“Kakak, aku diterima di universitas negeri jurusan psikologi, sama seperti kakak dulu!”. Mata Justin berbinar, sementara Febri berkaca-kaca. Bahagia dan sedikit getir.
“Lanjutkan mimpimu, kalau kakak belum bisa, mungkin memang kamu yang melanjutkannya. Kakak bangga padamu”, katanya sambil memeluk adiknya.
Waktu pun berlalu, Febri tak pernah kembali ke kampus. Namun, ia tak pernah menyesal. Keputusannya telah menyelamatkan mimpi adiknya dan itu sudah cukup baginya.
Langit tak selalu cerah dan tidak semua mimpi harus diraih sendiri. Terkadang keikhlasan akan membentuk cinta paling tinggi ketika kita rela mundur agar orang yang kita sayangi bisa melangkah maju.
Facebook Comments